Beberapa bulan yang lalu saya pernah menuliskan Manusia Mobile. Silahkan dibaca, jika belum membacanya. Hehe. Tulisan tersebut dilatarbelakangi oleh seseorang yang menggantungkan kepentingannya dengan kehidupan serba "mobile" tanpa bersosial dengan lingkungan secara langsung. Kali ini saya akan membahas mengenai pemikiran yang realistis dalam era digital.
Peralihan tahun 2018 ke 2019, bagi saya identik dengan paper rasa skripsi yang harus dikebut sebelum deadline membatasi gerak. Namun, selain perihal kepetingan saya tentang paper, ada banyak tulisan atau wacana yang menurut saya bisa dikritisi melalui pemikiran realistis. Usia yang sudah mau seperempat abad ini, mendorong banyak orang yang seusia dengan saya untuk berpikir realistis, tanpa mengecualikan perasaan. Ketika realistis jauh lebih menyenangkan sebagai jalan keluar penyelesaian masalah dari pada menggebu-ngebu menggunakan perasaan ala baper yang tidak kunjung berujung.
Realistis Era Digital
Digital maupun virtual dalam tulisan ini adalah semua hal yang berhubungan dengan internet. Jika dilihat dari segi virtual, maka semua hal juga belum tentu ada wujudnya. Virtual bahkan bisa diartikan sebagai "teman" yang ada bentuknya di dunia maya tetapi tidak bisa ditemui di dunia nyata. Fenomena virtual yang juga bisa direpresentasikan sebagai media yang kejam.
Setiap detik, berjuta-juta orang dari belahan dunia akan membaca, menulis, dan melakukan aktivitas digital di media sosial. Semua teks, sikap, dan pemikiran itu akan membuat kita mengerti hal lain selain yang ada di depan mata. Menanggapi peralihan tahun 2018 ke 2019, media sosial akan menjadi sesuatu yang menarik untuk diamati. Jikalau benar, pasti kalian juga sudah tahu perihal apa. Dalam hal ini, pemikiran realistis sangat dibutuhkan. Selain itu, kebahasaan yang digunakan akan mampu mencerminkan maksud dan ha lain yang ada dalam suatu tuturan.
Masyarakat pasti sudah cerdas menggunakan media sosial, tapi apakah sudah memikirkan sesuatu yang realistis? Saya mengambil contoh dalam sebuah kasus penjambretan. Jika dilihat secara kritis, seseorang yang menjadi "korban" tidak akan pernah menjadi "korban" jika tidak punya "daya tarik" atau "pancingan" untuk seseorang yang menjadi "tersangka". Artinya, penjambret tidak akan menjambret korban kecuali ada "faktor" yang membuatnya merasa terdorong untuk melakukan tindakan negatif tersebut. Lalu apa hubungannya dengan realistis? Ya, begini saja. Pemikiran realistis itu didasarkan pada perspektif mana saja, yang orang lain kadang memandangnya salah, tetapi dikaji dalam pandangan lain termasuk hal yang benar. Selain itu, pemikiran ini juga bersifat terbuka, seseorang akan mempunyai pendapatnya sendiri, tetapi tidak akan menutup diri untuk mendengarkan pendapat orang lain.
Bisa jadi, semua yang ada dalam kehidupan era digital ini fana, tetapi melaluki sikap-sikap dan pemikiran realistis, semua bisa dipandang secara real.
"Kalau masih tersinggung saat dinasehati, mungkin ada yang salah pada dirimu sendiri" atau "Kalau kamu masih mbahas itu-itu saja, mungkin dolanmu kurang adoh"
Pernyataan di atas memang ada benarnya juga. Sebuah individu akan memiliki pemikiran dan cara mereka memandang sesuatu. Tentu akan ada perbedaan dengan orang lain, tetapi bagaimana pemikiran itu akan tetap hidup dengan alasan-alasan kuat yang melatarbelakanginya.
Kehidupan yang serba digital ini mengajarkan kita untuk tidak melulu memikirkan "aku" dan tidak melulu tentang "kamu", tetapi masih banyak hal yang menarik untuk ditinjau dari berbagai sudut pandang. Entah itu politik, ekonomi, bahasa, kesehatan, keamanan negara, dsb. Semua memerlukan pemikiran realistis yang menguatkan untuk pengambilan sikap selanjutnya. Lalu semakin ke sini, janganlah menganggap pemikiran realistis itu keji, justru realistis itu membawa pluralitas sebagai kunci, bukan melulu tentang mayoritas.
Berpikir Itu-Itu Saja: Hanya Berada pada Wadah Itu Saja
Ketika terjebak pada pemikiran itu-itu saja. Berada di wadah yang sama. Tidak ada pembaharuan. Ibarat dunia, semua bak kegelapan yang tak kunjung cerah. Pemikiran tertutup yang tidak diimbangi dengan perkembangan zaman. Tidak ada salahnya bukan mencoba berpikir realistis, tanpa mengurangi norma yang sudah ada? Berpikir realistis untuk mengkritisi kehidupan yang penuh dengan drama ini hehe.
Berada di wadah lain, bisa menjadikanmu lebih baik atau menjadikanmu berkembang ke arah positif. Semua tidak ada salahnya untuk dicoba dan dipikirkan secara realistis.
4.12.18
astridyp



