Kecantikan sebagai Standar Toleransi
By astridyp - December 03, 2018
![]() |
| Beauty |
Cantik itu relatif. Iya, relativitas yang tinggi.
Sebagian celetupan mengenai definisi "cantik" dan hal-hal menguntungkan yang mengikutinya. Kalau dipikir-pikir dari kecil sampai sekarang, masih banyak yang mengukur standar toleransi dengan kecantikan seseorang. Ya, kalau laki, ketampanan lah ye.
Sebenarnya, secara nggak sadar. Lagi-lagi "secara nggak sadar", orang-orang memiliki batasan yang tidak dapat ditembus, bahkan untuk perihal fisik. Telalu sensitif sih, membahas kaya gini. Sekali lagi, tulisan ini ditulis berdasarkan presepsi saya sendiri. Jadi jangan terlalu diambil pusing. Hehehe.
Ada banyak hal yang membuat kecantikan adalah tolak ukur toleransi yang aneh. Ketika hal ini bisa saja dikategorikan juga sebagai sebuah diskriminasi verbal maupun fisik. Oh, memang dunia ini mengalami perkembangan dari bahasa, sikap, dan tingkah laku. Ya, tapi dalam hal bertoleransi dengan mengedepankan sisi tadi, membuat hidup ini terlalu sempit.
Lah terus gimana, dong?
Anyway, pernahkah kalian melakukan hal sekecil diskriminasi dengan memandang fisik? Beauty is pain, ya juga sih, lah emang orang yang dikategorikan sebagai "beauty" lalu "non-beauty" ada pembedanya? Banyak. Hehe. Orang-orang bahkan mampu membuat seseorang merasa tidak diterima dalam suatu kelompok maupun merasa tidak diberikan kesempatan yang sama. Dalam hal ini, umpamakan saja dalam kehidupan sehari-hari kaya gini:
"Lah, duluan aja mbak nya cantik, sih"
"Untung cantik, coba jelek, salah deh"
"Kalau cantik, pasti apa-apa bener"
"Kalau nggak cantik, udah salah itu pasti sikapnya"
Penggalan dari beberapa tuturan itu pasti meletup bersama cekikikan yang mengudara bak orang tanpa dosa. Lalu saya menyoroti pada hal lawan tutur yang lain atau "seseorang" yang berada dalam lingkungan tersebut yang merasa ada sesuatu yang salah karena tidak masuk dalam kategori "itu". Hal sesepele mengatakan seperti itu saja, bisa dikaji lebih jauh dan bisa dikritisi. hehe. Masuk body shaming, atau memukul orang lain melalui sentuhan verbal.
Bagaimana kita menyikapi fenomena ini?
Sebenarnya, lewat bahasa yang kita gunakan, kita setidaknya bisa meminimalisir diskriminasi. Bukan apa-apa; tidak semua orang berusaha menjadi "apa" yang orang lain inginkan; tidak semua orang berusaha biasa-biasa saja saat ada "perkataan" yang bahkan menyakiti hati; tidak semua orang "mengerti" kata-kata yang "pas" untuk diucapkan; lalu, tidak semua orang akan "mengabaikan" perkataan serupa diskriminasi. Oh, iyakah? Hehe. Nggak, tahu juga. Namun, semakin dilihat, setiap orang memiliki standar kecantikannya sendiri. Hal tersebut bahkan mempengaruhi tingkat kepedulian orang lain terhadap lingkungannya.
Kecantikan sebagai tolak ukur sebuah toleransi. Miris. Banyak media hanya menjual wajah saja, entah seberapa banyak topeng yang harus diganti berkali-kali. Kecantikan bak pencaipaian luar biasa yang bisa membuat "orang lain" merasa bahwa tidak ada apa-apanya. Kecantikan wajah tidak selalu mendarah daging ke sukma, kadang mereka hanya sebatas titipan fisik yang entah kapan akan menghilang juga. Susah payah "cantik" dijaga, sampai akhirnya tidak ada toleransi lagi.
Semakin dewasa, dunia ini semakin fana. Tidak ada yang benar-benar abadi, kecuali segelintir orang yang akan memberikan toleransi lebih kepada kita. Setidaknya, pada setiap napas yang masih menoleransi ketidakcantikan ini, masih banyak mimpi yang harus dicapai selain mempersoalkan seberapa "cantik" orang lain.
Cantik tidak akan salah. Cantik selalu benar. Begitu hukum alamnya.
Kalian cantik dengan apa yang kalian miliki. Cantik lah dengan karya, harapan, mimpi, dan efek positif untuk orang lain. Cantik lah dengan apa yang sudah ada, bukan hanya cantik yang menoleransi lingkunganmu. Fighting!
![]() |
| (Sumber: Pinterest) |
Bagaimana kita menyikapi fenomena ini?
Sebenarnya, lewat bahasa yang kita gunakan, kita setidaknya bisa meminimalisir diskriminasi. Bukan apa-apa; tidak semua orang berusaha menjadi "apa" yang orang lain inginkan; tidak semua orang berusaha biasa-biasa saja saat ada "perkataan" yang bahkan menyakiti hati; tidak semua orang "mengerti" kata-kata yang "pas" untuk diucapkan; lalu, tidak semua orang akan "mengabaikan" perkataan serupa diskriminasi. Oh, iyakah? Hehe. Nggak, tahu juga. Namun, semakin dilihat, setiap orang memiliki standar kecantikannya sendiri. Hal tersebut bahkan mempengaruhi tingkat kepedulian orang lain terhadap lingkungannya.
Kecantikan sebagai tolak ukur sebuah toleransi. Miris. Banyak media hanya menjual wajah saja, entah seberapa banyak topeng yang harus diganti berkali-kali. Kecantikan bak pencaipaian luar biasa yang bisa membuat "orang lain" merasa bahwa tidak ada apa-apanya. Kecantikan wajah tidak selalu mendarah daging ke sukma, kadang mereka hanya sebatas titipan fisik yang entah kapan akan menghilang juga. Susah payah "cantik" dijaga, sampai akhirnya tidak ada toleransi lagi.
Semakin dewasa, dunia ini semakin fana. Tidak ada yang benar-benar abadi, kecuali segelintir orang yang akan memberikan toleransi lebih kepada kita. Setidaknya, pada setiap napas yang masih menoleransi ketidakcantikan ini, masih banyak mimpi yang harus dicapai selain mempersoalkan seberapa "cantik" orang lain.
Cantik tidak akan salah. Cantik selalu benar. Begitu hukum alamnya.
Kalian cantik dengan apa yang kalian miliki. Cantik lah dengan karya, harapan, mimpi, dan efek positif untuk orang lain. Cantik lah dengan apa yang sudah ada, bukan hanya cantik yang menoleransi lingkunganmu. Fighting!
4.12.18
astridyp




1 comments
😍, sukakkk sama tulisannya.
ReplyDelete