Jerawat, Stress, dan Bipolar Disorder: Desember 2018

By astridyp - February 09, 2019




Di akhir tahun 2018 kemarin, ada hal baru yang mampu membuat saya berpikir dua kali untuk melakukan sesuatu. Hal tersebut berhasil menyatukan keraguan, ketakutan, dan rasa enggan untuk melakukan sesuatu. Tepatnya, semenjak UTS dan menjelang UAS tubuh ini seperti menerima beban yang lebih berat. Baru saya sadari bahwa sekolah lagi tidak semudah selesai jenjang sebelumnya. Ya, namanya hidup pasti kalau belum dijalani akan lebih sulit sih.

Disaat itulah saya baru mendengar bipolar disorder atau gangguan mental perubahan suasana hati. Lebih tepatnya, dalam beberapa sumber memberikan pengertian bahwa bipolar disorder merupakan sebuah gangguan mental yang menyerang kondisi psikis seeorang yang ditandai dengan perubahan suasana hati yang sangat ekstrem, bisa juga disebut dengan mood swing. Awalnya, saya membacanya hanya sekilas saja sampai menjadi sebuah permasalahan yang besar ketika “jerawat”, "anggapan orang lain", dan “penelitian tugas akhir semester” menjadi satu.

Masa peralihan antara UTS dan UAS ini membuat saya mengalami tingkat stress yang bisa dibilang cukup parah. Segala hal yang membuat saya tersinggung dan perihal jerawat bisa membuat mood saya berubah secara drastis, sampai kepikiran jika hal tersebut merupakan gejala dari bipolar disorder. Walaupun saat itu saya masih bisa mengendalikan mood tersebut di depan orang lain. Sesuatu yang hanya bisa dilihat melalui fisik dan rupa adalah hal terbodoh yang membuat saya berpikir bahwa orang lain tidak bisa merasakannya juga. Hanya karena ini terjadi pada saya dan hanya karena keadaannya semakin memburuk, memang membuat berjuta kemungkinan dan perasaan sakit yang mendalam. Saya merasakan bahwa keadaan mental saya mulai tidak bisa terkondisikan. Segala hal perihal jerawat bahkan lebih buruk daripada tugas akhir penelitian. Bagi saya, semua orang seperti tidak melihat bagaimana dan berapa materi yang saya keluarkan untuk  menjadikan ini semua lebih baik. Bahkan setiap malam terasa mencekam penuh tanggis. Lalu? Ternyata itu merupakan hal konyol lain yang saya perbuat, melakukan segala hal agar orang lain tidak membicarakan perihal jerawat adalah kemungkinan kecil. Di mana, basa-basi perihal fisik merupakan hal yang biasa, lalu saya mulai serius menanggapi body shaming yang sudah dapat diperkarakan. Jahat. Hehe. Untung tidak sampai pada tahap tersebut.



Keadaan ini semakin memburuk menjelang UAS, bagi saya tidak lebih baik keluar rumah atau mengerjakan dengan orang lain. Saya tidak ingin bertemu orang lain, tidak ingin melakukan hal-hal yang melibatkan orang lain. Kata-kata yang tadinya tidak berdampak apa-apa bisa saja menjadi apa-apa dan merubah mood saya. Ada kalanya, saya bisa bahagia sebahagiannya, lalu tiba-tiba terlintas pikiran yang membuat mood itu kembali kritis. Siapa yang tahu? Saya memang terlalu gampang bersikap bodo amat kepada orang lain, namun pada fase ini saya menjadi sangat sensitif. Walaupun tidak sampai pada tahap diagnosis bahwa ini mengenai psikis atau hanya hormon semata, tetapi ketika saya datang untuk ketiga kali ke dokter spesialis kulit saya ada hal yang menguatkan tersebut. Beliau menjelaskan bahwa jerawat yang saya alami ini bukan perihal hormon saja. Kemudian, beliau menegaskan bahwa jerawat ini terjadi karena tingkat stress yang tinggi.

Oke, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan setelah itu.

Pertemuan ketiga itu tepat tiga hari sebelum deadline terakhir tugas akhir penelitian. Artinya, masih ada hal yang akan terjadi setelah itu. Mari lalui saja, pikiran saya hanya itu sih. Selesai UAS, mulai memperbaiki mood dan sudah berani bertemu orang lain.


Nah, ada satu hari di mana saya sudah memberikan sugesti positif dan ternyata sugesti tersebut ditanggapi dengan hal negatif. Apa yang terjadi setelah itu? Mood saya super duper jatuh. Mungkin karena lingkungan orang beda-beda jadi kadang memaksakan keinginan kita dan keinginan orang lain untuk menjadi suatu kesatuan yang sama itu hampir mustahil. Entahlah oknum tersebut merupakan sosok yang seharusnya menjadi panutan, tetapi malah melakukan seperti itu. Sampai akhirnya ada kata-kata yang terucap di mulutku, “Hati-hati ya kamu, kalau sampai body shaming dan aku nggak terima. Aku bisa laporin kamu kapan aja”. Rentetan kata-kata yang menurutku tidak bermanfaat sama sekali, menyudutkan perempuan dan membuat mood saya dalam menghadari acara itu: tidak baik-baik saja.

Tidak habis pikir  dengan oknum tersebut. Perempuan dianggap sebagai sesuatu yang salah, karena lelaki selalu benar (dalam hal tersebut). Padahal hidup ini bukan perkara susah kerja daripada sekolah, atau susah sekolah daripada kerja. Ini perihal menghargai satu sama lain, keputusan orang lain. Apa yang dijalani setiap orang tidak pernah sama, kenapa harus memarjinalkan perempuan dengan kata-kata berbau sex, body shaming, dan hal-hal rendah lainnnya. Geleng-geleng kepala, padahal saat itu saya pengen nangis rasanya. Mental saya berontak sampai ingin kuhabiskan saja. Hehe. Pertemuan ini melahirkan ketakutan lagi untuk bertemu dengan orang lain. Namun, pada fase ini saya mulai menyadari bahwa sebenarnya saya hanya harus melawan dan memberikan power yang lebih kuat ketika hal tersebut saya alami. 


Lalu..

Di akhir tahun, sampai detik ini. Semua kembali membaik. Butuh waktu yang lama untuk menjadi baik-baik saja, siap bertemu orang lain, dan melalui banyak hal. Sebagai bagian dari manusia biasa, saya tidak pernah merasa baik-baik saja jika masih tersenyum walau ada perlakukan seperti di atas. Walaupun saya tidak bisa mendiagnosis diri saya sendiri sebagai seseorang yang mengalami bipolar disorder saat itu, cukuplah satu dokter mengatakan kalau saya menderita stress yang tinggi sehingga banyak jerawat yang muncul tidak beraturan. Selain itu, saat menjalani “perawatan” di tempat yang sama, saya menerima banyak sugesti positif dari orang-orang yang juga berusaha menyembuhkan. Sekali lagi, saya percaya hukum alam bahwa lingkungan mempengaruhi cara berpikir kita. Bukan suatu diskriminasi tapi sepertinya manner dan attitude juga dampak dari hal tersebut. 

Satu artikel ini, saya rasa sudah cukup.

Kita tidak akan tahu bagaimana kondisi mental seseorang bisa terganggu hanya dengan “kata-kata sepele” macam itu maupun perlakukan yang “biasa saja”. Poin pentingnya adalah kita tidak boleh sama-sama memaksakan. Tidak semua prasangka buruk dan harapan orang lain terhadapmu harus kamu jalani. Seperti ini, saya berusaha berjuang untuk sembuh karena orang lain tetapi justru semain parah. Setelah saya tidak memikirkan hal tersebut perlahan-lahan, saya menyadari bahwa hidup ini berada di tangan dan pilihan saya. Apapun yang terjadi saat itu, yang berhasil membuat saya berubah mood dalam sekejap adalah sesuatu yang luar biasa. Saya syukuri, sebagai sesuatu yang menarik untuk pembelajaran ke depan. Dan untuk manusia-manusia yang masih menganggap body shaming, sex, dan hal-hal yang merendahkan sebagai sesuatu yang sepele. Coba pikirkan dua kali lagi perasaan orang tersebut, tidakkah ada basa-basi  dan obrolan yang lebih positif atau berbobot dari pada itu. J

Satu lagi, jerawat, stress, dan bipolar disorder bukan hal sepele bagi orang lain. Setiap orang yang mengalaminya pasti berusaha menyembuhkan dan melawannya. Hidup tidak semudah itu, fergusooo :( “Mulutmu, harimaumu!”.

Hati-hati dalam bertutur kata dan attitude nya tolong dijaga. Hehe.


 astridyp


p.s Untuk yg masih berjuang, jangan berusaha diakui tetapi lebih lebih lebih baik lagi dari sebelumnya. Semangat! :)

Gambar: pinterest.com


  • Share:

You Might Also Like

1 comments

  1. hai.. kak. aku udah baca nih. hmm semangat teruss ya..

    ReplyDelete