Di akhir tahun 2018 kemarin, ada hal baru yang
mampu membuat saya berpikir dua kali untuk melakukan sesuatu. Hal tersebut
berhasil menyatukan keraguan, ketakutan, dan rasa enggan untuk melakukan
sesuatu. Tepatnya, semenjak UTS dan menjelang UAS tubuh ini seperti menerima beban
yang lebih berat. Baru saya sadari bahwa sekolah lagi tidak semudah selesai
jenjang sebelumnya. Ya, namanya hidup pasti kalau belum dijalani akan lebih
sulit sih.
Disaat itulah saya baru mendengar bipolar disorder atau gangguan mental perubahan suasana hati. Lebih
tepatnya, dalam beberapa sumber memberikan pengertian bahwa bipolar disorder merupakan sebuah
gangguan mental yang menyerang kondisi psikis seeorang yang ditandai dengan
perubahan suasana hati yang sangat ekstrem, bisa juga disebut dengan mood swing. Awalnya, saya membacanya
hanya sekilas saja sampai menjadi sebuah permasalahan yang besar ketika “jerawat”, "anggapan orang lain", dan “penelitian tugas akhir semester” menjadi satu.
Masa peralihan antara UTS dan UAS ini membuat
saya mengalami tingkat stress yang bisa dibilang cukup parah. Segala hal yang
membuat saya tersinggung dan perihal jerawat bisa membuat mood saya berubah secara drastis, sampai kepikiran jika hal tersebut merupakan gejala dari bipolar disorder. Walaupun saat itu saya masih bisa
mengendalikan mood tersebut di depan orang lain. Sesuatu yang hanya bisa dilihat melalui
fisik dan rupa adalah hal terbodoh yang membuat saya berpikir bahwa orang lain
tidak bisa merasakannya juga. Hanya karena ini terjadi pada saya dan hanya
karena keadaannya semakin memburuk, memang membuat berjuta kemungkinan dan
perasaan sakit yang mendalam. Saya merasakan bahwa keadaan mental saya mulai
tidak bisa terkondisikan. Segala hal perihal jerawat bahkan lebih buruk
daripada tugas akhir penelitian. Bagi saya, semua orang seperti tidak melihat
bagaimana dan berapa materi yang saya keluarkan untuk menjadikan ini
semua lebih baik. Bahkan setiap malam terasa mencekam penuh tanggis. Lalu? Ternyata itu merupakan hal konyol lain yang saya
perbuat, melakukan segala hal agar orang lain tidak membicarakan perihal jerawat
adalah kemungkinan kecil. Di mana, basa-basi perihal fisik merupakan hal yang
biasa, lalu saya mulai serius menanggapi body
shaming yang sudah dapat diperkarakan. Jahat. Hehe. Untung tidak sampai
pada tahap tersebut.
Keadaan ini semakin memburuk menjelang UAS,
bagi saya tidak lebih baik keluar rumah atau mengerjakan dengan orang lain. Saya tidak ingin bertemu orang lain, tidak ingin melakukan hal-hal yang melibatkan orang lain. Kata-kata
yang tadinya tidak berdampak apa-apa bisa saja menjadi apa-apa dan merubah mood saya. Ada kalanya, saya bisa
bahagia sebahagiannya, lalu tiba-tiba terlintas pikiran yang membuat mood itu kembali kritis. Siapa yang
tahu? Saya memang terlalu gampang bersikap bodo
amat kepada orang lain, namun pada fase ini saya menjadi sangat sensitif. Walaupun
tidak sampai pada tahap diagnosis bahwa ini mengenai psikis atau hanya hormon
semata, tetapi ketika saya datang untuk ketiga kali ke dokter spesialis kulit
saya ada hal yang menguatkan tersebut. Beliau menjelaskan bahwa jerawat yang
saya alami ini bukan perihal hormon saja. Kemudian, beliau menegaskan bahwa
jerawat ini terjadi karena tingkat stress yang tinggi.
Oke, saya tidak tahu
apa yang harus saya lakukan setelah itu.
Pertemuan ketiga itu tepat tiga hari sebelum deadline terakhir tugas akhir
penelitian. Artinya, masih ada hal yang akan terjadi setelah itu. Mari lalui
saja, pikiran saya hanya itu sih.
Selesai UAS, mulai memperbaiki mood
dan sudah berani bertemu orang lain.
Nah, ada satu hari di mana saya sudah
memberikan sugesti positif dan ternyata sugesti tersebut ditanggapi dengan hal
negatif. Apa yang terjadi setelah itu? Mood
saya super duper jatuh. Mungkin karena lingkungan orang beda-beda jadi kadang
memaksakan keinginan kita dan keinginan orang lain untuk menjadi suatu kesatuan
yang sama itu hampir mustahil. Entahlah oknum tersebut merupakan sosok yang
seharusnya menjadi panutan, tetapi malah melakukan seperti itu. Sampai akhirnya
ada kata-kata yang terucap di mulutku, “Hati-hati ya kamu, kalau sampai body shaming dan aku nggak terima. Aku bisa laporin kamu
kapan aja”. Rentetan kata-kata yang menurutku tidak bermanfaat sama sekali,
menyudutkan perempuan dan membuat mood saya dalam menghadari acara itu: tidak baik-baik saja.
Tidak habis pikir dengan oknum tersebut.
Perempuan dianggap sebagai sesuatu yang salah, karena lelaki selalu benar
(dalam hal tersebut). Padahal hidup ini bukan perkara susah kerja daripada
sekolah, atau susah sekolah daripada kerja. Ini perihal menghargai satu sama
lain, keputusan orang lain. Apa yang dijalani setiap orang tidak pernah sama,
kenapa harus memarjinalkan perempuan dengan kata-kata berbau sex, body
shaming, dan hal-hal rendah lainnnya. Geleng-geleng kepala, padahal saat
itu saya pengen nangis rasanya. Mental saya berontak sampai ingin kuhabiskan
saja. Hehe. Pertemuan ini melahirkan ketakutan lagi untuk bertemu dengan orang lain. Namun, pada fase ini saya mulai menyadari bahwa sebenarnya saya hanya harus melawan dan memberikan power yang lebih kuat ketika hal tersebut saya alami.
Lalu..
Di akhir tahun, sampai detik ini. Semua kembali
membaik. Butuh waktu yang lama untuk menjadi baik-baik saja, siap bertemu orang lain, dan melalui banyak hal. Sebagai bagian dari manusia biasa, saya tidak pernah
merasa baik-baik saja jika masih tersenyum walau ada perlakukan seperti di
atas. Walaupun saya tidak bisa mendiagnosis diri saya sendiri sebagai seseorang
yang mengalami bipolar disorder saat
itu, cukuplah satu dokter mengatakan kalau saya menderita stress yang tinggi sehingga
banyak jerawat yang muncul tidak beraturan. Selain itu, saat menjalani “perawatan”
di tempat yang sama, saya menerima banyak sugesti positif dari orang-orang yang
juga berusaha menyembuhkan. Sekali lagi, saya percaya hukum alam bahwa lingkungan mempengaruhi cara berpikir kita. Bukan suatu diskriminasi tapi sepertinya manner dan attitude juga dampak dari hal tersebut.
Satu artikel ini, saya rasa sudah cukup.
Kita tidak akan tahu bagaimana kondisi mental
seseorang bisa terganggu hanya dengan “kata-kata sepele” macam itu maupun
perlakukan yang “biasa saja”. Poin pentingnya adalah kita tidak boleh sama-sama
memaksakan. Tidak semua prasangka buruk dan harapan orang lain terhadapmu harus
kamu jalani. Seperti ini, saya berusaha berjuang untuk sembuh karena orang lain
tetapi justru semain parah. Setelah saya tidak memikirkan hal tersebut
perlahan-lahan, saya menyadari bahwa hidup ini berada di tangan dan pilihan
saya. Apapun yang terjadi saat itu, yang berhasil membuat saya berubah mood dalam sekejap adalah sesuatu yang
luar biasa. Saya syukuri, sebagai sesuatu yang menarik untuk pembelajaran ke
depan. Dan untuk manusia-manusia yang masih menganggap body shaming, sex, dan
hal-hal yang merendahkan sebagai sesuatu yang sepele. Coba pikirkan dua kali
lagi perasaan orang tersebut, tidakkah ada basa-basi
dan obrolan yang lebih positif atau
berbobot dari pada itu. J
Satu lagi, jerawat, stress, dan bipolar disorder bukan hal sepele bagi
orang lain. Setiap orang yang mengalaminya pasti berusaha menyembuhkan dan
melawannya. Hidup tidak semudah itu, fergusooo :( “Mulutmu, harimaumu!”.
Hati-hati dalam bertutur kata dan attitude nya tolong dijaga. Hehe.
p.s Untuk yg masih berjuang, jangan berusaha diakui tetapi lebih lebih lebih baik lagi dari sebelumnya. Semangat! :)
Gambar: pinterest.com



