Bukan rembulan lagi yang kau tepuk pelan. Jauh dan ragu itu mematri pilu. Kau tak lagi seperti mawar yang baru merekah. Layu.
Bayangan itu tak juga berlalu. Luruh dan kacau itu memacu segala aktivitas dalam perdebatan ini. Sesuatu yang ragu telah lama ditutup dan dikunci. Tetapi selulosa-selulosa itu kembali datang untuk mengusik segala hal yang ada. Sudahkah kau siapkan nyalimu saat itu agar kau tak lagi layu?
Terakhir, pakaian ungu itu menghiasi tubuh tegapmu. Senyummu tipis. Tatapanmu kosong. Lalu, dalam pertemuan terakhir yang tak tersambung itu, rasanya kamu kembali melukis banyak hal yang sudah lama tak aku temui. Getaran yang orang lain bahkan tidak bisa merasakannya atau melakukannya. Kau muai rindu ini semakin lepas bahkan tak ada habisnya. Hujan menghujam dan situasi seperti sudah tergaris sama seperti tahun lalu. Ada tulisan yang bahkan tak pernah kau baca. Tulisan tentang jeritan-jeritan pada masa yan tak terkuak. Saat semua baik-baik saja.
Ada dua hal yang bahkan tak pernah kau tanyakan padaku. Ada dua hal yang bahkan tak pernah coba kau jawab dariku. Ada dua kemungkinan yang sudah kau coba hindari dari hidupku. Ada dua keinginan yang coba kau ubah dari hidupku. Ada dua hal yang kau manfaatkan dari diriku. Kenapa harus dua? Kenapa hanya dua? Sudahkah kau meletakkan angka satu atau tiga diantara angka duamu itu?
Memeluk hal yang bahkan tak ada. Sudah jauh ternyata.
Sudah sampai disini dan semua masih sama. Ternyata tanpa dan dengan siapa itu akan tetap berbeda. Setiap daun jatuh itu tak akan sama saat berusaha menyatu lagi dengan dahannya. Jadi seperti ini, sesuatu yang jatuh tidak akan pernah sama lagi saat kita coba letakkan pada tempat yang sama atau mencoba untuk menerbangkannya lagi. Hal yang sudah pernah hilang tidak akan sama lagi saat datang itu, memupuk terus menerus. Jenuh.
Rindu itu pembodohan. Hal yang tak akan sama dirasakan dua orang sekaligus.
Selama ini tak ada rindu tak juga pilu. Jauh yang semakin menyelimuti akan tetap bertahan lama. Tak akan ada lagi hal yang bisa membuat semuanya luka bersama-sama. Hanya sebuah janji yang manis dibibir. Pembuktian itu seperti peniadaan lagi. Seolah lupa itu memang selalu berasa pada tingkat yang paling benar. Lupa itu yang membuat semua ini tak pernah masuk pada cerita klimaksnya. Aku sibuk! Sibuk mencari dimana semua ini akan mempunyai akhir yang sama dengan pengawalannya. Apakah hanya satu saja yang selalu istimewa? Mengapa bukan dua yang sama-sama merasakan? Sampai pada jenuh diantara pembodohan itu. Dua orang itu tak akan selalu merasa bersama. Hanya ada sedikit hal yang tak sama saat sudah hilang arah. Ketika rindu itu benar-benar menjadi titik dimana pembodohan mencakar dan mencabik, diamlah sejenak. Tidak kah kau lihat semua tulisan bisu ini? Rindu. Pembodohan. Omong kosong.
Cerita ini sudah berteman dengan nisan. Kita tak padu ataupun keliru. Cukup.
Mati. Seluruh hal yang pernah hidup itu mati. Tentang tangan-tangan yang pernah saling mengenang dan dikenang. Pada sajak dengan baris keberapakah ini, cukup. Gemetar itu semoga tak ada lagi. Jenuh itu semoga semakin menjadi-jadi. Sehingga sejuk itu akan bermuara. Cukup. Tak ada lagi kata yang akan tergambar. Terakhir, tidak akan ada hal ini lagi. Tulisan ini semu. Karena kepada semua yang terjadi ataupun tak terjadi aku menulis. Bukan itu, bukan kamu, bukan dia, bukan mereka, tapi aku. Cukup.
astridyp
